Bepe- Motivator Terbaik Dalam Hidup Adalah Diri Sendiri

Pada suatu pagi di Gelora Bung Karno.
Saya tengah jogging ketika tiba-tiba seorang anak SMP mengejar, dan kemudian berlari sejajar dengan saya. Sejurus kemudian anak tersebut berkata: “Om boleh ikut lari ngga?”
“Oh ayo saja,” jawab saya singkat sambil terus berlari.
“Jadi beneran sudah pensiun nih Om?” tanya anak tersebut. “Pensiun total sih belom, tapi untuk tim nasional iya,” jawab saya.
“Ngga sayang Om?” tanya dia lagi. “Maksudnya sayang?” ucap saya balik bertanya.
“Ya semua orang pada pengen banget masuk tim nasional, eh Om yang jadi kapten malah mengundurkan diri,” ujar dia lagi.
Mendengar kalimat tersebut, sejenak saya pun menghela napas. Beberapa saat kemudian saya menjawab, “Manusia itu harus tahu kapan saatnya berjalan, dan kapan saatnya untuk berhenti.”
Anak tersebut hanya terdiam sambil terus berlari di samping saya. Tampak jika dia tengah coba mengartikan kalimat yang baru saja keluar dari mulut saya. Tak lama kemudian, anak tersebut kembali bertanya “Terus kenapa ngga main lagi di Persija Om?”
“Iya lagi pengen istirahat dulu hehehe,” jawab saya singkat.
“Karena masalah gaji ya om?” ujar dia lagi. Saya tidak menjawab pertanyaan tersebut. “Di mana loyalitas dan kecintaanmu kepada klub yang telah membesarkanmu Om?” cerocos anak tersebut.
Seketika sambil tersenyum saya bergumam dalam hati, “Mimpi apa gue semalem, pagi-pagi udah ketemu yang beginian.”
Sambil terus berlari saya kemudian berkata, “Rasa cinta dan fanatisme kita terhadap sesuatu, jangan pernah membutakan mata dan hati kita dalam membuat sebuah penilaian. Jika sesuatu yang kita cintai telah melenceng dan melakuan kesalahan, maka sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab kita untuk mengingatkan.”
“Begitu juga dengan Persija Jakarta, ketika mereka melakukan kesalahan dengan menelantarkan para pemain yang telah berjuang atas nama Persija Jakarta, maka mereka harus diperingatkan. Jadi ini lebih kepada rasa cinta dan tanggung jawab, bukan kebencian. Mereka yang berpikiran terbuka, tidak akan pernah menganalogikan kritik dengan sebuah kebencian.”
Anak tersebut mendengarkan dengan seksama sambil terus berusaha mengimbangi langkah kaki saya. “Emang parah tuh Ferry Paulus,” ujar dia perlahan. Sejurus kemudian dengan napas yang terengah-engah ia kembali bertanya, “Om kasih motivasi buat saya dong, biar saya bisa jadi pemain yang sukses seperti Om.”
Pertanyaan tersebut membuat saya terdiam sesaat. Dan ketika saya ingin menjawab pertanyaan tersebut, ternyata si anak tadi sudah tidak berada di samping saya lagi.
Seketika saya memperlambat langkah dan melihat ke belakang. Ternyata dia tengah menunduk sambil memegangi kedua lututnya. Napasnya tampak tersengal-sengal tak beraturan. Sayapun berjalan berbalik arah dan mendekati anak tersebut.
“Siapa namamu?” tanya saya kepada anak tersebut. “Reza om,” jawab anak itu.
“Dengar lagi baik-baik. Motivator terbaik dalam hidup ini adalah diri sendiri, bukan orang lain. Bukan orang tua, pacar, idola, guru, atau Mario Teguh sekalipun. Karena yang paling tahu dan mengenal diri kita adalah diri kita sendiri.”
Si anak yang mengaku bernama Reza tersebut hanya memandangi saya sambil tetap mencoba mengatur napasnya. Beberapa saat berselang saya kembali berkata, “Siapa pun bisa saja memberikan motivasi yang luar biasa, namun hal tersebut bisa jadi hanya singgah sebentar di otak kita, dan tak lama kemudian akan menghilang. Berbeda jika kita dapat mencari cara untuk memotivasi diri sendiri, maka sugesti atau pesan itu akan tertanam kuat di dalam otak kita, dan tinggal di sana selamanya.”
“Oh begitu ya om,” kata si Reza perlahan. “Semoga kamu mengerti,” ujar saya singkat sambil menepuk pundak anak SMP tersebut. Sayapun lanjut berlari mengelilingi lintasan luar Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Sekelumit cerita di atas hanyalah sebuah contoh soal, yang dalam kesempatan itu mungkin dapat mewakili banyak hal. Mewakili banyak hal, mengingat sejujurnya banyak sekali pertanyaan-pertanyaan serupa yang ditujukan kepada diri saya. Baik secara langsung, maupun melalui media sosial.
Dan bukan bermaksud untuk tidak ingin berbagi, atau menyemangati, namun saya memiliki pandangan yang mungkin sedikit berbeda dengan orang kebanyakan. Utamanya mengenai apa itu motivasi, dan bagaimana cara memotivasi. Di bawah ini saya akan coba untuk menjabarkannya bagi rekan-rekan sekalian.
Awal sekali saya adalah sebuah pribadi yang sangat yakin dan percaya bahwa sesuatu yang terjadi karena getaran dari dalam diri akan selalu lebih efektif daripada pengaruh dari luar. Yang dalam hal ini berarti reaksi setiap individu terhadap segala sesuatu yang ia rasakan dan hadapi selalu menjadi hal yang paling penting.
“Life is 10% of what happens to you, and 90% how you respond to it“. Entah siapa yang menulis atau berkata demikian, karena sejujurnya saya sudah lupa. Namun, terlepas dari siapapun orangnya, saya sangat setuju dengan ungkapan tersebut.
Pada dasarnya setiap manusia itu sama, yang membedakan adalah reaksi mereka terhadap segala permasalahan yang ia hadapi. Artinya, sebesar dan seberat apa pun permasalahan yang menghampiri kita, selama kita mampu bereaksi positif terhadap permasalahan tersebut, maka kita akan mampu melewatinya dengan baik.
Permasalahan itu hanya 10 persen dari keseluruhan hidup kita, sedang 90 persen sisanya adalah bagaimana reaksi kita terhadap permasalahan tersebut. Semakin positif reaksi kita dalam menghadapi masalah tersebut, maka semakin besar juga presentasi kita untuk dapat melewatinya. Begitu juga sebaliknya.
Teori kesuksesan itu sederhana. Kemampuan ditambah kemauan serta keyakinan, maka sama dengan kesuksesan. Jika anda merasa lemah pada salah satu sisinya, maka anda harus memberi perhatian lebih, atau bekerja lebih keras pada sisi yang lain. Kesuksesan akan datang kepada orang-orang yang mampu memaksimalkan kemampuan yang ada pada diri mereka.
Idealnya memang kemampuan, kemauan, dan keyakinan dalam posisi yang sama-sama kuat. Namun, hal tersebut jarang sekali ditemui, akan selalu ada sisi yang sedikit lemah dari ketiga hal tersebut.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa definisi sebuah kesuksesan sebenarnya bukan berada pada penilaian dari orang-orang di luar sana. Melainkan berada pada sejauh mana kita mampu memaksimalkan potensi yang ada pada diri kita, untuk mampu mencapai sesuatu. Dan hal tersebut hanya dapat dinilai oleh diri kita sendiri, bukan orang lain.
Karena kembali lagi, pada akhirnya yang paling mengerti diri kita adalah diri kita sendiri. Demikian halnya yang paling mengerti sajauh mana potensi yang ada pada diri kita, jugalah diri kita masing-masing.
Maka mari bekerja keras untuk mencapai sesuatu, bukan untuk mengalahkan orang lain. Jangan pernah terbelenggu dengan sifat iri, dengki, benci, serta dendam terhadap orang lain. Karena sejatinya, hal tersebut hanya akan membatasi potensi serta ruang gerak kita, untuk berkembang dan menjadi jauh lebih baik dari siapa diri kita saat ini.
Mungkin saja pada sebuah tahap, kita sudah mampu mengalahkan orang lain. Dan ketika kita sudah merasa puas dengan hal tersebut, maka kita hanya akan berhenti sampai di sana saja. Padahal mungkin dengan potensi yang kita miliki, kita mampu melangkah lebih jauh lagi, bukan hanya sekadar mengalahkan orang tersebut.
Akhir sekali kepada seluruh pesepak bola muda di luar sana, jangan pernah ingin menjadi seperti diri saya. Mengapa? karena dengan kemampuan yang kalian miliki, dengan kerja keras dan keyakinan, maka bisa jadi kalian dapat menjadi jauh lebih baik dari diri saya.
Siapa tahu? Bukankah kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Maka tulislah masa depanmu dengan penamu sendiri, dan warnailah dengan warna yang kalian sukai. Karena hidup ini terlalu singkat untuk menjadi orang lain.
Selamat berjuang dan semoga sukses, untuk karier dan masa depan kalian.
Selesai.

0 comments:

Post a Comment

Copyright © BloGue - Blogger Theme by BloggerThemes & newwpthemes - Sponsored by Internet Entrepreneur